https://madura.times.co.id/
Hukum dan Kriminal

Bola Salju Kasus Proyek Satelit Kemenhan RI

Minggu, 16 Januari 2022 - 09:49
Bola Salju Kasus Proyek Satelit Kemenhan RI Menkopolhukam Mahfud MD. (FOTO: dok pribadi)

TIMES MADURA, JAKARTA – Menkopolhukam Mahfud MD kemarin telah buka-bukaan soal adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kemenhan RI (Kementerian Pertahanan).

Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan itu pada tahun 2015. Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjelaskan, tahun 2015, tepatnya tanggal 19 Januari, Satelit Gadura-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan ITU atau Internasional Telecommunication Union, lanjut dia, negara yang telah mendapatkan hak pengelolaan diberi waktu 3 tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit itu.

Nah, apalagi tak dipenuhi, hal pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain. Untuk mengisi kekosongan Slot Orbit, kata dia, Kominfo lalu memenuhi permintaan Kemenhan.

Permintaan itu yakni mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit guna membuat Satelit Komunikasi Pertahanan atau Satkomhan.

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater atau satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Conmunication Limited tanggal 6 Desember 2015.

Mahfud melanjutkan, persetujuan penggunaan Slot Orbit dari Kominfo itu baru diterbitkan 29 Januari 2016. Tetapi, pihak Kemhan tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit kepada Kominfo.

Setelah itu, lanjut tokoh asal Madura itu, tanggal 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-1 kepada PT Dina Nusa Kusuma atau PT DNK.

Ternyata, PT DNK tak mampu menyelesaikan masalah residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan belum punyak anggaran untuk keperluan itu.

"Kontrak itu dilakukan untuk membuat Satelit Komunikasi Pertahanan dengan nilai yang sangat besar. Padahal anggaran belum ada," jelasnya.

Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan  menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia.

Sedangkan di 2016, anggaran sudah tersedia. Tetapi dilakukan self blocking oleh Kemenhan. Lalu Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

"9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," katanya lagi.

Pemerintah lanjut dia, juga baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan tersebut menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar USD20,9 juta. "Yang USD20 juta ini nilainya mencapai Rp304 miliar," ujarnya.

Ia pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.

Mengapa Baru Diungkap?

"Tahun 2018 saya belum jadi Menko, jadi saya tak ikut dan tak tahu persis masalahnya. Saat saya diangkat jadi Menko, saya jadi tahu karena pada awal pendemi Covid-19, ada laporan bahwa pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima oleh Kemhan," jelas Mahfud MD.

Setelah itu, kata dia, dirinya kemudian mengundang rapat pihak-pihak terkait sampai berkali-kali tetapi ada yang aneh. Sepertinya ada yang menghambat untuk dibuka secara jelas masalahnya. Akhirnya, ia putuskan untuk minta BPKP melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT).

"Hasilnya ternyata ya seperti itu, ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara telah dan bisa terus dirugikan. Makanya, saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar diproses secara hukum," katanya.

Ia menyampaikan, Presiden RI Jokowi (Joko Widodo) juga meminta agar segera dibawa ke ranah peradilan pidana. "Menkominfo setuju, Menkeu bersemangat. Menhan Prabowo dan Panglima TNI Andika juga tegas mengatakan bahwa ini harus dipidanakan," ujarnya.

Tahap Penyidikan

Setelah itu, Kejaksaan Agung (Kejagung RI) pun menaikkan status proyek Satelit tersebut ke tahap penyidikan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febri Ardiansyah menyampaikan, sudah memeriksa 11 saksi dalam kasus ini.

Ia enggan menyampaikan dengan merinci siapa saja saksi tersebut. Yang pasti kata dia, mereka berasal dari swasta maupun Kemenhan. "Jumlah yang kami periksa ada 11 orang," katanya dalam keterangan resminya.

"Selain itu, juga didukung dengan dokumen yang lain, yang kami jadikan alat bukti seperti kontrak dan dokumen-dokumen lain dalam proses pelaksanaan pekerjaan itu sendiri," ujarnya.

Panglima TNI Dukung Penuh

Pengusutan kasus ini didukung penuh oleh banyak pihak. Tak terkecuali dari Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. "Saya siap mendukung keputusan dari pemerintah untuk melakukan proses hukum," tegasnya.

Ia mengaku, sebelumnya sudah berkoordinasi dengan menteri Mahfud MD. Ia mengaku sudah menerima penjelasan dari Mahfud terkait proyek Satelit di Kemenhan itu.

Dari pemaparan Mahfud ke dirinya, ternyata ada dugaan keterlibatan personel TNI. "Indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum," ujarnya soal kasus proyek satelit Kemenhan RI. (*)

Pewarta : Moh Ramli
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Madura just now

Welcome to TIMES Madura

TIMES Madura is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.