https://madura.times.co.id/
Kopi TIMES

Jadi Guru itu Tidak Harus Pintar

Senin, 25 November 2019 - 16:22
Jadi Guru itu Tidak Harus Pintar Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

TIMES MADURA, MALANG – Masa sekolah saya sangat bahagia. Bagaimana tidak? Sekolah pagi, pulang siang lalu main dengan teman-teman. Malamnya mengaji di langgar. Paling tidak ini yang saya rasakan sebagai anak sekolahan dari desa di tahun 70-an. Serba pas-pasan tetapi sangat menyenangkan.

Paling tidak bila saya bandingkan dengan anak-anak zaman sekarang. Berangkat pagi, pulang sore. Belum jika ikut les di lembaga atau privat. Belum soal urusan Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolah yang tidak sedikit. Anak saya sendiri kadang stress sampai jatuh sakit. Anak saya yang paling besar baru bisa menikmati masa-masa menyenangkan belajar saat kuliah, dimana tidak lagi disibukkan dengan tugas-tugas “administratif” dari sekolah.

Mungkin pendapat saya di atas sangat subjektif. Tentu ada yang membantah bahwa kondisi, sarana, prasarana zaman dahulu dengan sekarang sangat berbeda. Zaman dahulu dengan sekarang juga berbeda tuntutan. Tuntutan itu justru berasal dari lingkungan sosial setelah menyelesaikan sekolah.  

Sekarang, anak dipacu untuk berprestasi. Maka, prestasi sering menjadi tolok ukur kecerdasan anak. Anak dipacu untuk menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Sekolah “memaksa” anak-anak berprestasi karena akan berkaitan erat dengan kompetensi dan kredibilitas sekolah. Sementara orang tua menekan. Seolah jika anak berprestasi menjadi kebanggaan atau bahkan orang tua bisa menyombongkan diri pada orang lain. Jadi setali tiga uang,lingkungan sosial menghendaki demikian, sekolah memaksa dan orang tua menekan. Jadilah anak-anak berpacu seperti mesin waktu.

Dari situ saya bisa sah menjawab, bahwa sekolah saya zaman tahun 70-an lebih menyenangkan daripada anak sekarang. Ini minimal menurut saya. Tentu orang punya alasan sendiri-sendiri untuk hal tersebut. 

Guru Inspiratif
Saat sekarang tugas guru juga berat. Ia banyak berkaitan dengan kerja-kerja adminsitratif, bahkan setelah sampai di rumah sekalipun. Bukan kemauan gurunya, tetapi kemauan sistem yang mengharuskan dirinya sibuk. Gurunya tak ada pilihan lain kecuali juga menekan murid-muridnya atas beban administratif yang diembannya. Jadi ibarat putaran lingkaran setan. Tak mudah menjawab bagaimana mengatasi hal demikian.

Zaman dahulu tugas guru cukup ringan. Pekerjaan adminstratif cukup banyak dikerjakan di sekolah. Itupun sekolahnya tidak sampai sore. Di rumah bisa mengasuh, membantu anak atau mengajar kelompok belajar di lingkungannya. Bapak saya setelah selesai mengajar di SDN Barongan II bisa mengajar di madrasah lain yang sedang mau tumbuh. Kadang mengajari mengaji. Saat ini hal yang sangat susah dilakukan guru zaman sekarang.

Guru itu sebenarnya tidak hanya bertugas mengajar saja. Ia juga sekorang manajer pendidikan. Ibarat permainan orkestra,ia pemimpinnya. Bagaimana potensi masing-masing orang yang membawakan alat musik ditentukan pula oleh peran pemimpin itu. Jika ada pemain biola yang potensial, ia akan banyak memberikan kesempatan pemain itu untuk mengeksplorasi kemampuannya. Ini tugas manajer dalam orkestra.

Bagaimana dengan guru?  Sama sama. Guru tentu punya tugas menggali potensi anak didik agar berkembang dengan baik. Tentu arti berkembang ini ada banyak hal. Bisa penguasaan pengetahuan atau ketrampilan. Soal penguasaan pengetahuan itu mudah dilakukan, asal anak mempunyai budaya baca tinggi dengan diberikan ruang gerak yang baik sekolah dan guru. 

Namun, tidak semua guru mampu mendorong untuk meningkatkan budaya baca. Jadi,  dorongan minat baca itu pondasinya, sementara penguasaan ilmu itu bangunananya. Banyak orang ingin membuat bangunan bagus, tetapi lupa cara bagaimana membangun pondasi yang kuat. Sehingga bangunannya itu hanya mentereng di luar tetapi akan mudah roboh jiak ditiup angin. 

Banyak orang yang tahu bahwa membaca itu jendela dunia tetapi tak banyak diantara mereka yang paham bahwa salah satu kunci membuka jendela itu  perlu kunci. Kuncinya itu dengan membaca. Sementara itu, pemberi kunci yang cocok salah satunya adalah guru.

Tugas guru salah satunya menginspirasi murid-muridnya. “Seorang guru yang berusaha mengajarkan sesuatu tanpa menginspirasi muridnya dengan keinginan untuk belajar ibarat seperti memalu besi dingin, “begitulah kata Horace Man.

Tugas menginspirasi ini tentu tidak mudah. Tak semua guru mempunyai keahlian untuk itu. Tapi setiap guru punya potensi menginspirasi murid-muridnya dengan cara dan kemampuan masing-masing. Artinya, tak semua guru harus sama. Potensi harus dikembangkan masing-masing guru. Ini sama persis dengan seorang guru yang harus mendorong potensi murid-muridnya untuk berkembang. 

Tugas memberikan ilmu pengetahuan memang penting. Menginspirasi siswa agar berkembang sesuai potensinya tak kalah pentingnya. Mengapa harus guru? Karena guru sering yang dipercaya murid-muridnya.  Kadang sebagai orang tua saya kalah dengan anak jika sudah berkata, “Kata bu guru begitu”. Jadi, betapa hebat dan kuatnya pengaruh guru pada anak didik.

Kalau tugas guru hanya transfer ilmu itu sangat mudah. Guru mengajar di depan kelas. Murid suruh membaca. Besok pagi diuji satu per satu. Ini sangat mudah. Mudah bagi bagi guru, tetapi menyiksa murid-muridnya.

Hampir sama dengan dosen. Kalau hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan itu soal mudah. Dosen membaca lalu menyampaikan. Mahasiswa yang berbeda pendapat pun jarang yang ada jika profil dosennye “serem”. Tetapi ini bukan dosen yang menginspirasi. 

Dosen tentu harus dengan berbagai macam alat peraga memberikan bekal pada mahasiswa. Tentu saja, dosen melakukannya dengan potensi masing-masing. Jaman sekarang jadi dosen harus kreatif, jika tidak ia hanya akan dianggap sebagai “seonggok tubuh yang berdiri di depan kelas”. 

Di zaman disrupsi saat ini mahasiswa yang lulus tidak akan ditanya, “Lulusan mana?” tetapi “Kamu bisa apa?”. Bagi dosen, tidak lagi ditanya, “Anda lulusan mana?” tetapi “Anda bisa enggak menggali potensi kami?”. Tentu tugas ini tidak mudah.  

Memutus Mata Rantai
Jadi guru memang harus pintar. Tetapi itu bukan tolok ukur kesuksesan seorang guru. Pintar tetapi ilmunya hanya dipakai sendiri untuk apa? Pintar tetapi membuat siswanya tidak memahami sebuah permasalahan juga untuk apa? Jangan-jangan siswanya bertambah bodoh. 

Guru pintar adalah mereka yang bisa menggali potensi siswanya dengan baik. Ia juga harus menginspirasi anak didiknya. Tentu ini tidak mudah.  Bagaimana ia akan menginspirasi anak didik jika gurunya banyak disibukkan dengan urusan adminstrastif yang dibebankan sekolah atau bahkan negara ini? Yang tidak kalah pentingnya mendorong anak didik berakhlak mulia. Untuk apa pintar jika akhlaknya tidak mulia? 

Ada baiknya kita menyimak naskah pidato Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam memyambut Hari Guru 2019, “Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan. Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di jelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul bahwa potensi tidak dapat diukur dari hasil ujian tetapk terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan. Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan”.

Pesan Mendikbud bahwa menjadi guru inspiratif itu sangat ditekankan. Yang penting tugas guru mampu menggali potensi siswa dan membangunkan pikiran bawah sadar bahwa mereka punya potensi. 

Bagaimana dengan tugas-tugas administratif guru yang menjadi beban agar guru bisa inspiratif? Itu bukan tugas guru semata. Itu tugas negara melalui Mendikbud. Biarlah Mendikbud mengimplementasikan itu semua sebagaimana dijanjikan dalam naskah pidato. Membicarakan pendidikan di Indonesia seolah “mengurai benang ruwet”. Dibutuhkan political will pemerintah untuk memotong “mata rantai” benang ruwet tersebut.(*)

*) Penulis, Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

Pewarta :
Editor : Yatimul Ainun
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Madura just now

Welcome to TIMES Madura

TIMES Madura is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.